Polusi di Jakarta Kembali Parah di tengah New Normal

New Normal ini telah mengubah padanan hidup tiap manusia untuk tetap beradaptasi pada dinamika alur hidup.

polusi jakarta

Tidak ada yang tahu memang, tetapi itulah kecerdasan manusia untuk tetap waspada dan hati-hati ketika datang waktunya untuk bertahan hidup ‘survival‘.

Pada Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB), Jakarta mulai terlihat sebagai langit biru yang cerah dari ujung cakrawala memandang dan menghirup oksigen, tapi apakah pada masa PSBB, polusi benar-benar hilang?

Data yang diakumulasikan oleh Greenpeace Indonesia dari sensor ambient udara di gedung Kedubes AS, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan menunjukkan bahwa ibukota republik Indonesia sama sekali tidak ada kualitas udara yang baik dari sejak dimulainya PSBB hingga 4 Juni.

RajaBackLink.com

Kualitas udara yang “baik” terjadi ketika kualitas udara dalam suatu lokasi tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) yaitu 25 mikrogram per kubik meter untuk particulate matter 2.5, yang dihitung dalam enam skala besar kualitas udara.

Tiada hari tanpa udara yang sehat sudah diperhitungkan sejak 14 Maret hingga 9 April. Kualitas udara di ibukota tersebut terbilang moderat selama 19 hari di Jakarta Pusat dan 5 hari di Jakarta Selatan.

Di sisi lain, kualitas udara masuk dalam level “tidak sehat bagi sebagian kelompok orang yang sensitif” selama 8 hari di Jakarta Pusat dan 17 hari di Jakarta Selatan. Lalu disusul “tidak sehat” selama lima hari di Jakarta Selatan.

Periode dari 10 April hingga 4 Juni juga disusul tanpa udara yang sehat. Jakarta Pusat melaporkan kualitas udara moderat selama 30 hari dan “tidak sehat bagi sebagian kelompok orang” selama 26 hari. Sensor di Jakarta Selatan juga mencatat moderat selama tiga hari, 37 hari tidak sehat bagi sebagian kelompok orang, dan 14 hari dengan kualitas udara tidak sehat.

Setelah 4 Juni, Jakarta kembali memasuki papan nama “Kota Terpolusi di Dunia” dari World Air Quality Project’s Air Quality Index (AQI). AQI menggabungkan data dari BMKG dan departemen meterologi nasional.

Kualitas udara di ibukota RI tidak begitu membaik, kemungkinan besar karena kebiasaan “new normal” yang menitikberatkan pada pemutusan rantai penyebaran penyakit COVID-19 dibandingkan dengan pengurangan emisi.

Menurut Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kualitas udara di Jakarta lebih baik bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Rata-rata particulate level di tahun 2020 hingga tanggal 8 Juni adalah 24,33 mikrogram/meter kubik, lebih rendah dibandingkan tahun 2019 yang rata-ratanya mencapain 28,57 mikrogram/kubikmeter.

Di sisi lain, menurut Peraturan Pemerintah No. 41/1999, ambang batas level polusi adalah 15 mikrogram/meter kubik untuk PM 2.5, berbeda bila mengacu pada ambangt batas dari WHO yaitu 10 mikrogram/meter kubik.

Menjadi salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, Jakarta sedang dalam fase yang berat untuk menentukan pilihan mereduksi emisi dari sektor transportasi.

Secara global, polusi udara menyebabkan kematian prematur 7 juta jiwa manusia per tahunnya, menurut data dari PBB.